Oleh Ustadz Ubaidillah.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ
عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ
اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ
حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
“Sesungguhnya
bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan
Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan
haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu
menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (Qs. At Taubah: 36)
👉
Ibnu Rajab mengatakan, “Allah Ta’ala menjelaskan bahwa sejak penciptaan
langit dan bumi, penciptaan malam dan siang, keduanya akan berputar di
orbitnya. Allah pun menciptakan matahari, bulan dan bintang lalu
menjadikan matahari dan bulan berputar pada orbitnya. Dari situ
muncullah cahaya matahari dan juga rembulan. Sejak itu, Allah menjadikan
satu tahun menjadi dua belas bulan sesuai dengan munculnya hilal.
Dari Abu Bakroh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الزَّمَانُ
قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ،
السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ
مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ،
وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
“Setahun berputar
sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu
tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram
(suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan
Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara
Jumadil (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah:,
“Dinamakan bulan haram karena dua makna.
🔹️Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian.
🔹️Kedua,
pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih
ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut.
Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan amalan
ketaatan.” (Lihat Zaadul Maysir, tafsir surat At Taubah ayat 36)
✒Para
ulama berselisih pendapat tentang manakah di antara bulan-bulan haram
tersebut yang lebih utama. Ada ulama yang mengatakan bahwa yang lebih
utama adalah bulan Rajab, sebagaimana hal ini dikatakan oleh sebagian
ulama Syafi’iyah. Namun An Nawawi (salah satu ulama besar Syafi’iyah)
dan ulama Syafi’iyah lainnya melemahkan pendapat ini. Ada yang
mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Muharram, sebagaimana hal
ini dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri dan pendapat ini dikuatkan oleh
An Nawawi. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa yang lebih utama
adalah bulan Dzulhijjah. Ini adalah pendapat Sa’id bin Jubair dan
lainnya, juga dinilai kuat oleh Ibnu Rajab dalam Latho-if Al
Ma’arif (hal. 203).
✒Di zaman Jahiliyah dahulu, orang-orang biasa
melakukan penyembelihan kurban pada tanggal 10 Rajab, dan
dinamakan ‘atiiroh atau Rojabiyyah (karena dilakukan pada bulan Rajab).
Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ‘atiiroh sudah dibatalkan
oleh Islam ataukah tidak. Kebanyakan ulama berpendapat
bahwa ‘atiiroh sudah dibatalkan hukumnya dalam Islam.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ فَرَعَ وَلاَ عَتِيرَةَ
“Tidak
ada lagi faro’ dan ‘atiiroh.” (HR. Bukhari no. 5473 dan Muslim no.
1976). Faro’ adalah anak pertama dari unta atau kambing, lalu dipelihara
dan nanti akan disembahkan untuk berhala-berhala mereka.
👉 Al
Hasan Al Bashri mengatakan, “Tidak ada lagi ‘atiiroh dalam Islam.
‘Atiiroh hanya ada di zaman Jahiliyah. Orang-orang Jahiliyah biasanya
berpuasa di bulan Rajab dan melakukan penyembelihan ‘atiiroh pada bulan
tersebut. Mereka menjadikan penyembelihan pada bulan tersebut sebagai
‘ied (hari besar yang akan kembali berulang) dan juga mereka senang
untuk memakan yang manis-manis atau semacamnya ketika itu.”
👉 Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan,
“Intinya,
tidaklah dibolehkan bagi kaum muslimin untuk menjadikan suatu hari
sebagai ‘ied selain apa yang telah dikatakan oleh syari’at Islam sebagai
‘ied yaitu Idul Fithri, Idul Adha dan hari tasyriq. Tiga hari ini
adalah hari raya dalam setahun. Sedangkan ‘ied setiap pekannya adalah
pada hari Jum’at. Selain hari-hari tadi, jika dijadikan sebagai ‘ied dan
perayaan, maka itu berarti telah berbuat sesuatu yang tidak ada
tuntunannya dalam Islam (alias bid’ah).” (Latho-if Al Ma’arif, 213)
🌵Amalan Bulan Rajab:
A. Mengkhususkan Shalat Tertentu dan Shalat Roghoib.
Tidak
ada satu shalat pun yang dikhususkan pada bulan Rajab, juga tidak ada
anjuran untuk melaksanakan shalat Roghoib pada bulan tersebut. Sehingga
amalan bulan Rajab yang satu ini tidak perlu diamalkan.
Shalat
Roghoib atau biasa juga disebut dengan shalat Rajab adalah shalat yang
dilakukan di malam Jum’at pertama bulan Rajab antara shalat Maghrib dan
Isya. Di siang harinya sebelum pelaksanaan shalat Roghoib (hari kamis
pertama bulan Rajab) dianjurkan untuk melaksanakan puasa sunnah. Jumlah
raka’at shalat Roghoib adalah 12 raka’at. Di setiap raka’at dianjurkan
membaca Al Fatihah sekali, surat Al Qadr 3 kali, surat Al Ikhlash 12
kali. Kemudian setelah pelaksanaan shalat tersebut dianjurkan untuk
membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak 70
kali.
Di antara keutamaan yang disebutkan pada hadits yang
menjelaskan tata cara shalat Raghaib adalah dosanya walaupun sebanyak
buih di lautan akan diampuni dan bisa memberi syafa’at untuk 700
kerabatnya. Namun hadits yang menerangkan tata cara shalat Roghoib dan
keutamaannya adalah hadits maudhu’ (palsu). Ibnul Jauzi meriwayatkan
hadits ini dalam Al Mawdhu’aat (kitab hadits-hadits palsu).
👉
Ibnul Jauziy rahimahullah mengatakan, “Sungguh, orang yang telah
membuat bid’ah dengan membawakan hadits palsu ini sehingga menjadi
motivator bagi orang-orang untuk melakukan shalat Roghoib dengan
sebelumnya melakukan puasa, padahal siang hari pasti terasa begitu
panas. Namun ketika berbuka mereka tidak mampu untuk makan banyak.
Setelah itu mereka harus melaksanakan shalat Maghrib lalu dilanjutkan
dengan melaksanakan shalat Raghaib. Padahal dalam shalat Raghaib,
bacaannya tasbih begitu lama, begitu pula dengan sujudnya. Sungguh
orang-orang begitu susah ketika itu. Sesungguhnya aku melihat mereka di
bulan Ramadhan dan tatkala mereka melaksanakan shalat tarawih, kok tidak
bersemangat seperti melaksanakan shalat ini?! Namun shalat ini di
kalangan awam begitu urgent. Sampai-sampai orang yang biasa tidak hadir
shalat Jama’ah pun ikut melaksanakannya.” (Al Mawdhu’aat li Ibnil
Jauziy)
Shalat Roghoib ini pertama kali dilaksanakan di Baitul
Maqdis, setelah 480 Hijriyah dan tidak ada seorang pun yang pernah
melakukan shalat ini sebelumnya.
👉 Ath Thurthusi mengatakan,
“Tidak ada satu riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam melakukan shalat ini. Shalat ini juga tidak pernah dilakukan
oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum, para tabi’in, dan salafush sholeh
–semoga rahmat Allah pada mereka-.”
B. Mengkhususkan Berpuasa
👉
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Adapun mengkhususkan bulan
Rajab dan Sya’ban untuk berpuasa pada seluruh harinya atau beri’tikaf
pada waktu tersebut, maka tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para sahabat mengenai hal ini. Juga hal ini
tidaklah dianjurkan oleh para ulama kaum muslimin. Bahkan yang terdapat
dalam hadits yang shahih (riwayat Bukhari dan Muslim) dijelaskan bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa banyak berpuasa di bulan
Sya’ban. Dan beliau dalam setahun tidaklah pernah banyak berpuasa dalam
satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban, jika hal ini
dibandingkan dengan bulan Ramadhan.
Adapun melakukan puasa khusus di
bulan Rajab, maka sebenarnya itu semua adalah berdasarkan hadits yang
seluruhnya lemah (dho’if) bahkan maudhu’ (palsu). Para ulama tidaklah
pernah menjadikan hadits-hadits ini sebagai sandaran. Bahkan
hadits-hadits yang menjelaskan keutamaannya adalah hadits yang maudhu’
(palsu) dan dusta.”(Majmu’ Al Fatawa, 25/290-291)
👉 Syaikh Shalih Al-Munajjid hafizhahullah
berkata,
“Adapun mengkhususkan puasa pada bulan Rajab, maka tidak ada hadits
shahih yang menunjukkan keutamaannya atau menunjukkan anjuran puasa saat
bulan Rajab. Yang dikerjakan oleh sebagian orang dengan mengkhususkan
sebagian hari di bulan Rajab untuk puasa dengan keyakinan bahwa puasa
saat itu memiliki keutamaan dari yang lainnya, maka tidak ada dalil yang
mendukung hal tersebut.” (rumaysho)
✒Berpuasa penuh di bulan Rajab :
🔎
Jika dikhususkan berpuasa penuh pada bulan tersebut, tidak seperti
bulan lainnya sehingga orang-orang awam dapat menganggapnya sama seperti
puasa Ramadhan.
🔎 Jika dianggap bahwa puasa di bulan tersebut
adalah puasa yang dikhususkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam sebagaimana sunnah rawatib (sunnah yang mengiringi amalan yang
wajib).
🔎 Jika dianggap bahwa puasa di bulan tersebut memiliki keutamaan pahala yang lebih dari puasa di bulan-bulan lainnya.
C. Isro dan Mi’roj:
👉
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tidak ada dalil yang tegas
yang menyatakan terjadinya Isro’ Mi’roj pada bulan tertentu atau sepuluh
hari tertentu atau ditegaskan pada tanggal tertentu. Bahkan sebenarnya
para ulama berselisih pendapat mengenai hal ini, tidak ada yang bisa
menegaskan waktu pastinya.” (Zaadul Ma’ad, 1/54)
👉 Ibnu Rajab
mengatakan, “Telah diriwayatkan bahwa di bulan Rajab ada
kejadian-kejadian yang luar biasa. Namun sebenarnya riwayat tentang hal
tersebut tidak ada satu pun yang shahih. Ada riwayat yang menyebutkan
bahwa beliau dilahirkan pada awal malam bulan tersebut. Ada pula yang
menyatakan bahwa beliau diutus pada 27 Rajab. Ada pula yang mengatakan
bahwa itu terjadi pada 25 Rajab. Namun itu semua tidaklah shahih.”
👉
Abu Syamah mengatakan, “Sebagian orang menceritakan bahwa Isro’ Mi’roj
terjadi di bulan Rajab. Namun para pakar Jarh wa Ta’dil (pengkritik
perowi hadits) menyatakan bahwa klaim tersebut adalah suatu kedustaan.”
(Al Bida’ Al Hawliyah, 274)
D. Doa Khusus.
Banyak tersebar di
tengah-tengah kaum muslimin sebuah riwayat dari Anas bin Malik. Beliau
mengatakan, “Ketika tiba bulan Rajab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam biasa mengucapkan,
“Allahumma baarik lanaa fii Rojab wa
Sya’ban wa ballignaa Romadhon [Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab
dan Sya’ban dan perjumpakanlah kami dengan bulan Ramadhan]”.”
Hadits
ini dikeluarkan oleh Ahmad dalam musnadnya, Ibnu Suniy dalam ‘Amalul
Yaum wal Lailah. Namun perlu diketahui bahwa hadits ini adalah hadits
yang lemah (hadits dho’if) karena di dalamnya ada perowi yang bernama
Zaidah bin Abi Ar Ruqod. Zaidah adalah munkarul hadits (banyak keliru
dalam meriwayatkan hadits) sehingga hadits ini termasuk hadits dho’if.
Hadits ini dikatakan dho’if (lemah) oleh Ibnu Rajab dalam Lathoif
Ma’arif (218), Syaikh Al Albani dalam tahqiq Misykatul Mashobih (1369),
dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam Takhrij Musnad Imam Ahmad.
🍀Catatan:
Berpuasa
qodho, senin-kamis, puasa Dawud yang memang seseorang rutin
menjalankannya di segala waktu, maka tidak mengapa. Setiap amalan
tergantung niat yang memotivasinya.
📿📿📿📿📿